Ulasan Film: Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014)
Daftar isi [Buka]
Undang-Undang Republik Indonesia sejatinya telah membahas tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Namun, realita yang terjadi ialah masih ada celah dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan, terutama dalam hal tindak pidana korupsi. Tidak hanya melulu bicara uang, korupsi erat kaitannya dengan penyalahgunaan jabatan, perselingkuhan, hingga hal-hal di luar dugaan yang tentu saja membawa dampak negatif dalam kehidupan.
Siapa yang terkena imbas dari tindak pidana korupsi? Tentu saja selain si pelaku, keluarga dan pasangan, kolega, mitra kerja, pengacara, bahkan tempat kerja dapat terkena getahnya. Mereka yang berhubungan erat dengan si pelaku kerap dicap sebagai keluarga koruptor atau bahkan dituduh sebagai koruptor pula. Kenyataannya, jika pemberantasan korupsi dipertimbangkan dengan serius di negara ini, lawannya tidak hanya akan mencakup satu atau dua pegawai kerah putih yang berpendidikan tinggi, tetapi juga gembong yang jauh lebih besar dengan peranan masing-masing.
Itulah sekilas gambaran yang dapat saya simpulkan usai menonton "Sebelum Pagi Terulang Kembali". Film arahan Lasja F. Susatyo yang dirilis enam tahun silam. Film yang didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ini tidak hanya mengangkat isu penanganan korupsi dari kacamata hukum, tetapi juga isu-isu sosial yang jarang diperbincangkan oleh banyak orang.
Pada awalnya, keluarga Yan Prasetyo (Alex Komang) terlihat baik-baik saja. Sehari-hari ia bekerja sebagai pegawai di instansi pemerintahan dan dikenal lurus oleh rekan-rekan kerjanya. Istrinya, Ratna (Nungki Kusumastuti), adalah seorang dosen filsafat. Kesemrawutan mulai terjadi ketika Satria (Fauzi Baadila), seorang kontraktor yang tak lain adalah anak kedua Yan-Ratna, terus-terusan memaksa ayahnya untuk memuluskan tender proyek di pelabuhan.
Lain Satria, lain pula dengan anak tertua Yan yaitu Firman (Teuku Rifnu Wikana). Ia 'terbuang' dan memutuskan kembali ke rumah orang tuanya setelah berpisah dengan istrinya. Tanpa pekerjaan, kini Firman terpisah dari materi dan keluarganya. Sementara itu, adik perempuannya yaitu Dian (Adinia Wirasti) baru bertungangan dengan Hasan (Ibnu Jamil), seorang anggota DPR yang sebenarnya telah berkeluarga.
Satu per satu kesemrawutan mulai memuncak bak untaian benang yang kusut. Kesombongan, kedengkian, ketamakan, dan hawa nafsu membimbing tiap-tiap karakter menuju seven deadly sins atau tujuh dosa pokok yang saling berkaitan.
Penampilan Alex Komang sebagai Yan menjadi sorotan utama dalam film ini. Karier dan kehidupan yang mulus nyaris tanpa cela, bisa ternodai akibat perilaku anak-anaknya. Beruntung, ia masih memegang teguh prinsip dan tak memutuskan kembali dari masa pensiunnya.
Pesan yang ingin tersampaikan cukup kuat meskipun tanpa khotbah dogmatis. Paruh akhir film menegaskan: perang terhadap korupsi dimulai dari hal-hal kecil yang dibahas di meja makan keluarga. Sudah sewajarnya para orang tua membimbing anak-anak mereka ke jalan yang benar sembari memberi tuntunan. Karena kelak ketika anak-anak tumbuh dewasa, mereka di luar kendali orang tua masing-masing. Hanya anak yang berprinsip transparan dan jujur saja yang mampu menghindar dan terjauhkan dari perilaku koruptif.
Pada akhirnya, yang patut diapresiasi ialah "Sebelum Pagi Terulang Kembali" bukan hanya menggambarkan berbagai kejadian serupa di kehidupan nyata di Indonesia, melainkan ia juga menjelma sebagai pengingat sekaligus tamparan keras bagi siapa pun pihak yang hendak berkompromi dengan tindakan korupsi. Karena sifatnya yang destruktif, korupsi sama sekali tidak boleh dibiarkan terus-menerus dipelihara dalam sendi-sendi kehidupan.