Ketika Bung di Ende (2013): Biopik Soekarno yang Tak Biasa

Daftar isi [Buka]

Poster Film Soekarno Ketika Bung di Ende 2013

Dalam rangka memeriahkan HUT ke-75 RI, TVRI menayangkan film 'Soekarno: Ketika Bung di Ende' (karya sutradara Viva Westi) pada 18 Agustus silam. Siapa sangka, saya lumayan menyukainya. 

Film ini terlihat sangat berbeda dengan biopik Soekarno lainnya yang pernah saya tonton. Film ini tidak terlalu Hollywood, sebaliknya ia lebih tenang, penuh renungan, dan fokus pada satu pembahasan sebagaimana sub-judul film ini tertulis. 

Berlatar belakang pengasingan Soekarno pada tahun 1934-1938 oleh Belanda di Ende, Flores, beberapa detail remeh yang kerap kali terabaikan dalam banyak biopik di Indonesia secara gamblang digambarkan dalam film ini. Konteksnya bertautan satu sama lain secara efektif.

Karena fokus, film ini juga punya cukup tempat untuk karakter Ibu Inggit Garnasih, tanpa perlu berlebihan mendramatisasi apalagi mengglorifikasinya. Kekaguman saya pada film ini tertuju pada Paramitha Rusady—yang tak lain pemeran Bu Inggit—kok masih seanggun itu? Sebab, terakhir kali saya menonton perannya sebagai Cindy di Catatan Si Boy 4 dan 5. 

Yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya ialah pemilihan Baim Wong sebagai pemeran Soekarno. Luar biasanya, Baim tak bermain buruk: gesturnya dapat; mimiknya tidak berlebihan. Hanya saja saya merasa dibikin bingung apakah suara Baim di film ini hasil sulih suara (dubbing)? Saya masih penasaran karena itu jelas bukan suaranya yang biasa saya dengar selama ini. 

Karena punya cukup ruang untuk kefokusan cerita, kita dapat menyaksikan Soekarno bercocok tanam, mengajar baca-tulis, dan melatih cara bermain tonil[1]. Bung Karno juga mengadakan pengajian, berhubungan baik dengan gereja, sekaligus giat berkorespondensi dengan seorang modernis kukuh macam Ahmad Hassan, dan tak mengherankan ia kemudian menyerukan Flores yang modern dan bebas takhayul.

Yang juga menarik ialah kemunculan karakter misterius bernama Martin Paradja (diperankan oleh Tio Pakusadewo), seorang yang kemudian mengaku sebagai salah satu awak kapal Zeven Provinciƫn. Ia mendalami nasionalisme dan ide-ide Marxisme. Dari perangai dan tutur katanya, jelas ia merupakan sisa-sisa orang kiri yang tak sempat terangkut ke Boven Digoel.

Yang sangat jelas, setidaknya dari film ini, baik disengaja maupun tidak, Soekarno jelas tetap melihat Indonesia dari perspektif Jawa. Tak dimungkiri pula bahwa karakter elitnya sama sekali tak berusaha ditutup-tutupi. Ia datang ke Ende sekeluarga, lengkap dengan pembantunya, serta kacungnya. Ia lebih sering disapa "Tuan". Di samping itu, menyebut rakyat, orang miskin, orang kecil, secara berulang-ulang, dan itu justru menegaskan ia berjarak dari mereka. Dan, ketika Bung Karno mendakwahkan kebangkitan pribumi melawan penjajah, ia duduk di kursi rotannya, sementara mereka yang menyimak duduk berssila di lantai.

Catatan film Ketika Bung di Ende

[1] Tonil diserap dari bahasa Belanda toneel bermakna teater, sandiwara, atau pementasan.