Kefemininan dan Kegemaran Membaca

Daftar isi [Buka]
feminin membaca buku

Ketika Anda berada dalam satu gerbong kereta dengan dua orang wanita: wanita pertama sibuk memainkan gawai (gadget) sambil mendengarkan musik; sementara wanita lainnya asyik membaca sebuah buku. Menurut Anda, lebih seksi wanita pertama atau kedua?

Tentu preferensi kita bisa saja berbeda. Namun penilaian saya tetap jatuh pada wanita kedua (yang sedang asyik membaca buku). Tidak, saya tidak akan menilai dari parasnya saja. Keelokan seorang wanita itu relatif, menurut saya cantik belum tentu juga cantik menurut orang lain. Sedekat apa pun kita dengan seorang wanita, meskipun dia kekasih atau keluarga, tentu akan rumit apabila ingin menjalin komunikasi selagi dia keranjingan menatap layar gawai. Sebaliknya, kita tidak akan terlalu sulit menyapa wanita yang sedang membaca buku, terkadang malah kita segan untuk menegur karena takut mengganggunya.

Sebagai pelanggan kereta listrik "Commuter Line" Jabodetabek, saya tak ingat berapa banyak orang membaca buku di dalam kereta. Saya hanya dapat mengingat kerumuman orang lalu-lalang dan berhimpit-himpitan sambil menggenggam gawai masing-masing. Sekalipun kereta dalam keadaan sepi, membaca tetap menjadi pemandangan yang langka. Mungkin sebagian besar dari kita beranggapan bahwa membaca bukan bagian dari budaya kita.

Saya menganggap bahwa membaca bukan hanya sekadar kebiasaan, tetapi juga kebutuhan hidup. Jika makanan dan minuman merupakan nutrisi untuk tubuh, bacaan dapat dianalogikan sebagai nutrisi untuk pikiran kita. Sama halnya dengan menonton film atau mendengarkan musik, membaca adalah perjalanan spiritual. Hanya Anda sendiri yang mampu menghayati serta menilai suatu bacaan.

"Gue gak pernah bercanda soal buku." ― Ben (Filosofi Buku)

Pengalaman pribadi

Saya tak ingat di usia berapa saya mulai membaca, tapi saya tak pernah lupa buku pertama yang orang tua saya berikan kepada saya. Buku itu adalah kumpulan cerita Nabi dan Rasul berbahasa Arab, yang dihadiahkan kepada saya saat masih balita. Abi, yang saat itu masih bekerja di bagian pemberangkatan haji dan umrah, juga menghadiahkan buku-buku cerita yang lain kepada kakak-kakak saya. Saat itu, kami belum mengerti bahasa asing selain bahasa Indonesia sehingga kami hanya 'membaca' ilustrasi-ilustrasi yang ada dalam buku tersebut.

Kendati Abi jarang pulang ke rumah (satu tahun hanya 3 sampai 5 kali pulang), ia selalu menyempatkan diri untuk membeli koran Kompas atau Republika serta majalah Gatra dan Sabili saat berada di rumah. Ia mengisi liburan dengan membaca dan membaca. Saya pun tertarik dan sesekali meminta bagian rubrik koran dari Abi. Rubrik kesukaan saya adalah olahraga karena waktu itu sedang diadakan Piala Dunia FIFA 1998 di Perancis. Saya semakin gemar membaca ulasan sepak bola serta olahraga lainnya. Selain itu, saya juga menyukai Kompas Anak karena memuat cerita, curahan hati, serta impian anak-anak.

Gramedia Matraman adalah toko buku pertama yang saya kunjungi. Tepatnya pada tahun 2000, saya menemani kakak saya untuk jadi peserta lomba mewarnai gambar. Saya tidak terllau kagum akan hasil pewarnaan kakak saya, yang pada saat itu berhasil meraih juara harapan, tapi saya takjub melihat deretan buku mengisi rak-rak dengan jumlah fantastis.

Beberapa bulan setelah lomba mewarnai, kakak saya mengajak saya pergi (lagi) ke Gramedia Matraman bersama salah seorang teman sekelasnya. Saya ingat pada saat itu kami berangkat tanpa seizin orang tua karena kami tidak ingin didampingi oleh sanak saudara. Begitu sampai di lokasi, kami tidak serta merta membeli buku, tapi kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca komik Dragon Ball dan Kungfu Boy. Gratis.

Kebiasaan membaca saya mulai berubah saat keluarga saya pindah ke Jogja pada tahun 2004. Orang tua saya menyekolahkan semua anak-anak mereka di Pesantren yang sama. Saya jarang diberi kesempatan oleh Abi untuk membaca buku selain kitab-kitab bertuliskan huruf Arab. Selain buku pelajaran dan kitab-kitab kuning, saya juga membaca karya-karya Al-Qais, sang pujangga dari tanah Arab.

Kalau pun saya hendak membaca komik, saya harus menyisihkan uang bersama teman-teman kemudian mengutus kakak saya pergi ke toko buku. Sejak saat itu membaca komik tidak hanya menyenangkan, tapi juga menakutkan bagi saya karena takut dimarahi dan disita.

Namun di sisi lain, Abi tidak pernah menjauhkan saya dari toko buku. Ia beberapa kali mengajak saya pergi ke toko buku Social Agency dan Shopping Center (di belakang Taman Pintar). Saya tidak berani meminta dibelikan komik dan lebih memilih serial buku penemu. Saat itu saya hanya memilih edisi Alfred Bernhard Nobel, Alexander Graham Bell, dan Marie Curie karena berencana mengoleksi edisi lainnya jika datang ke toko buku lagi.

Sejak kelas 5 SD, saya mulai mengenal novel. Awalnya saya tidak sengaja melihat sahabat saya membaca novel Harry Potter and the Sorcerer's Stone di dalam kamarnya. Alih-alih meminjamnya, saya malah meminta ia menceritakan sinopsisnya secara rinci. Ia sangat antusias menceritakannya kepada saya, bahkan sesekali membaca mantra "Wingardium Leviosa" sambil mengacungkan pensil ke atas dan ke depan. Saya baru sadar ada buku minim visualisasi yang sangat menarik untuk dibaca.

Pasca gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006, saya mulai menetap di asrama. Sebagian besar waktu saya habiskan untuk belajar. dan bermain. Saya ingat aktivitas belajar pada saat itu dimulai sejak pukul 03.30 WIB hingga pukul 21.00 WIB. Di sela-sela waktu belajar dan tahfidz (mengaji), biasanya saya menyempatkan diri untuk pergi ke perpustakaan. Buku-buku sirah nabawiyah adalah favorit saya, selebihnya saya membaca buku-buku pengetahuan umum, fiqih, dan sastra. Jika saya dan teman-teman saya lupa waktu, kami tertidur sampai ada ustadz yang membangunkan kami untuk pindah ke asrama masing-masing.

Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi. ― Tan malaka (Madilog)

Hingga saat saya kembali ke Jakarta pada tahun 2009, toko buku Gramedia Matraman tetap menjadi pilihan saya untuk membeli atau sekadar membaca buku secara cuma-cuma. Tidak hanya karena dekat dari rumah, tetapi juga memuat beraneka ragam buku yang bisa saya pilih. Maklum, saya tak ingin ketinggalan informasi buku-buku teranyar dan terpopuler.

koleksi buku keren dilan si juki re maman suherman the big pang theory pangeran siahaan dan kokoro no tomo i heart tokyo
Beberapa koleksi buku saya (dari kiri: Dilan, #BeraniBeda, Re:, The Big Pang Theory, dan Kokoro no Tomo: I Heart Tokyo.)

Pengalaman demi pengalaman seperti di atas membuat saya mampu menghargai setiap karya tulis, apa pun itu genre dan penulisnya. Setiap koleksi komik, novel, buku sejarah, buku komedi, bahkan buku pelajaran saya baca dan simpan baik-baik.

Genre tulisan favorit

Tidak ada genre, penerbit, atau penulis buku tertentu yang saya jadikan primadona. Pada dasarnya, saya menyukai semua jenis buku, terkecuali buku motivasi yang terlalu menjual angan-angan semata. Saya memiliki buku resep masakan dan destinasi kuliner di Indonesia. Saya juga membaca novel-novel teenlit yang biasanya dianggap terlalu menjual roman picisan khas remaja. Bahkan, saya menyukai dan merekomendasikan Penerbit Buku Perempuan seperti Stiletto Book. Betapa feminin saya sebagai seorang penikmat bacaan.

koleksi buku blbi simalakama kokoro no tomo mourinho way
Hampir semua jenis buku saya baca: buku sejarah, novel romansa, hingga kumpulan esai sepakbola.

Namun, saat ini saya sedang menggandrungi penulisan sepak bola dan satire seperti yang ada di situs Mojok.

Seberapa sering saya membaca?

Ada orang yang membaca secara cepat dan ada pula yang membaca banyak bacaan sekaligus. Kombinasi keduanya adalah formula terbaik supaya seseorang terbiasa mengonsumsi banyak buku dalam waktu yang relatif singkat. Faktanya, bagi mayoritas orang, bukan hanya persoalan kecepatan membaca atau jumlah bacaan, melainkan penghayatan.

Saya membaca buku, artikel, blog, dan catatan-catatan di media sosial setiap hari. Saya tidak ingin terlalu terburu-buru membaca. Saya senantiasa menghayati tiap susunan kata yang ada di dalam sebuah tulisan karena itulah cara saya menghayati sebuah tulisan. Itu lah bentuk apresiasi saya terhadap sebuah karya karena saya juga seorang penulis.

Jika saya ditanya oleh seseorang, berapa buku yang saya baca dalam satu tahun?

Jawabannya adalah 30 hingga 40 buku selama satu tahun. Sedikit 'kan?

Yang berbahaya dari rendahnya minat baca adalah tingginya minat berkomentar. ― Zen Rahmat Sugito

Komunitas pembaca dan penulis

Saya mengikuti sebuah komunitas penikmat dan penulis buku di sebuah kios kecil di pasar Santa, Jakarta Selatan. Nama komunitas baca itu adalah POST Santa. Kegiatan komunitas tersebut antara lain silaturahmi, kelas menulis, perilisan buku, berbagi pengalaman, atau sekadar membaca puisi bersama-sama.

post pasar santa

baca buku di post pasar santa

Bincang sore dan perilisan buku "Di Hadapan Rahasia" karya Adimas Immanuel di POST, Pasar Santa. (30/1/2016)

* * *

buku adiktif stiletto book

Jangan sampai kelewatan tulisan-tulisan terbaru dari Yusuf Abdul Qohhar, follow @yusabdul. Atau hubungi langsung ke surel abdulqohharyusuf@gmail.com.

Foto: Shutterstock